Kediri, mataperistiwa.my.id Mereka ditampung di satu sanggar. Dilatih keras berbagai tarian. Tak sekadar menjadi penari. Tapi juga dipersiapkan sebagai pelatih tari profesional. Impian besar anggota sanggar tari ini adalah mampu melestarikan tari tradisional.
Gedung luas dengan atap tinggi itu ramai dan riuh. Teriakan anak-anak saling bersahutan. Menyeruak hingga ke Jalan Dandang Gendis, jalanan ramai yang ada di depannya.
Ketika masuk ke halaman, deretan sepeda motor tertata rapi. Terparkir di samping gedung di kompleks Balai Desa Gogorante, Ngasem, Kabupaten Kediri itu. Sementara di terasnya, beberapa orang paruh baya duduk-duduk. Sebagian menikmati jajanan.
“Mereka adalah orang tua anak-anak yang sedang latihan di sanggar tari,” tunjuk Kepala Desa Gogorante Supadmoko.
Ya, setiap minggu pagi, suasana seperti itulah yang tersaji dibalai desa tersebut. Sanggar yang dimaksud Supadmoko adalah Sanggar Tari Kembang Sore. Satu sanggar yang menaungi anak-anak berlatih tari tradisional.
Meski bukan milik desa, selama ini dukungan dari pemdes untuk sanggar tari ini sangat luar biasa. Supadmoko, kepala desa yang menggandrungi seni tradisional ini begitu antusias mendorong berkembangnya sanggar yang mulai berlatih di Balai Desa Gogorante sejak 2014 tersebut.
“Saya sangat senang dengan keberadaan sanggar ini. Sebisa mungkin (saya) akan membuat nyaman anak-anak saat berlatih,” tambahnya.
Keberadaan sanggar tari Kembang Sore di Desa Gogorante menjadi suatu keunikan tersendiri. Antusiasme orang tua untuk mengikutsertakan putra-putrinya sangat tinggi. Banyak pula yang berasal dari desa tetangga. Kembang Sore mampu menjadi magnet bagi masyarakat yang menginginkan putra-putrinya belajar tari tradisional. Jumlah siswanya mencapai ratusan anak.
“Pas ada pentas akbar di lapangan desa selalu ramai. Karena penampilan anak-anak dari sanggar ini yang ditunggu masyarakat,” akunya.
Supadmoko menerangkan, saat ini siswa Kembang Sore sudah hampir mencapai 500 anak. Mulai kelas 1 SD hingga SMP. Kebanyakan perempuan. Namun ada juga beberapa penari laki-laki.
Selain tari, di sanggar ini juga diajarkan tata rias. Hal itu untuk menambah daya kreativitas anak. Yang, diharapkan, akan memunculkan bibit-bibit baru untuk regenarasi penari tradisional yang ada di Kediri ini.
Kecintaan Kades 61 tahun itu terhadap seni budaya jawa memang telah melekat sejak kecil. Tak heran kalau dengan adanya Kembang Sore di Gogorante membuatnya semakin bersemangat untuk melestarikan kesenian tradisional. Salah satunya adalah dengan melengkapi fasilitas latihan. Pihak desa telah melakukan renovasi gedung aula dan menambah toilet untuk kenyamanan anak-anak di saat latihan.
“Kalau mereka nyaman, pasti lebih semangat saat latihan,” tandasnya.
Supadmoko setiap minggu juga menyempatkan datang untuk melihat anak-anak melakukan latihan. Hal ini untuk memantau sejauh mana fasilitas desa ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh warganya. Dia berbincang dengan orang tua yang mengantar. Menampung pendapat dari orang tua, serta fasilitas apa yang kurang.
Dari saran orang tua tersebut Supadmoko bisa mengetahui keluhan yang dirasakan selama ini. Kemudian menjadi bahan evaluasi desa untuk melakukan perencanaan perbaikan fasilitas yang ada.
Tiap Tahun Luluskan Penari yang Siap Melatih
Kebesaran nama Sanggar Tari Kembang Sore di Desa Gogorante itu tak lepas dari peran Sunoto, pelatih utama sekaligus pemilik sanggar. Perjalanan mengenalkan sanggar ini dimulainya sekitar 20 tahun lalu. Tepatnya pada 1998. Lika-liku mendirikan sanggar tari di Bumi Panji ini tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Saat itu zaman orde baru, jadi sebelum mengadakan kegiatan harus ada izin dulu,” kata Sunoto saat ditemui di sela latihan.
Pada tahun tersebut apabila hendak mendirikan organisasi juga sangat sulit. Harus ada izin berbagai lembaga. Baik instansi pemerintahan maupun kepolisian. Dulu persyaratannya sangat rumit dan detail. Itu pun tidak langsung bisa diloloskan.
Saat ini Kembang Sore Kediri masih di bawah naungan Kembang Sore Tulungagung. Kalau mendirikan harus ada uji coba dulu. Hingga pada 2000 resmi menjadi Sanggar Tari Kembang Sore Cabang Kediri.
“Pada 1999 pentas pertama masih atas nama anak cabang. Awalnya hanya 16 siswa,” sebutnya.
Dari pentas awal itulah, ternyata peminatnya semakin bertambah menjadi 34 siswa. Kemudian meningkat lagi menjadi 40. Dan terus meningkat setiap tahun. Di Sanggar yang berpusat di Jogjakarta itu tujuan utamannya adalah menjadikan anak-anak bisa menari tradisional. Sekaligus melestarikan kesenian tari yang dari tahun ke tahun mulai luntur eksistensinya. Setiap tahun pun Kembang Sore telah meluluskan siswanya yang siap untuk menjadi pelatih tari. Yang tersebar di sekolah-sekolah se Kota dan Kabupaten Kediri.
“Untuk mencapai kepelatihan dan bisa jadi pelatih harus ujian dulu di Jogja,” jelas Sunoto.
Memang tidak mudah untuk menjadi pelatih tari tradisional yang profesional, banyak jenjang yang harus ditempuh mereka. Salah satunya adalah kewajiban menempuh ujian kepelatihan hingga mendapat sertifikat tari dari Sanggar Kembang Sore Pusat yang ada di jogja. Namun dari sini mereka (calon pelatih) benar-benar diuji kualitasnya.
Sunoto dalam perjalanan mendirikan sanggar di Kediri ini dibantu oleh istrinya. Sekaligus penata busana tari. Ayah empat anak itu pun tidak lelah untuk terus berusaha menciptakan tarian-tarian baru. Melatih dengan penuh ketelatenan. Tentunya dengan tekad untuk mewujudkan tujuannya melestarikan kesenian tradisional agar tidak hilang ditelan zaman.
Selama ini total ada 1.800 alumni yang diluluskan Kembang Sore Kediri. Termasuk 20 pelatih yang aktif di sana. Mereka semuanya lulusan dari Kembang Sore. Salah satunya adalah Denniar Suryantika. Gadis 23 tahun itu lulus pada 2011, saat ini sudah mengajar di 4 sekolah baik di Kota maupun Kabupaten Kediri.
“Lulus dari kembang sore ini sangat membantu, karena dasar menari sudah dapat. Nanti tinggal mengolah saja,” tukas gadis yang karib disapa Den itu.